Indonesia sebagai salah
satu Negara yang berdaulat, paham tentang kedaulatan rakyat merupakan pilihan
yang telah difikirkan jauh-jauh dari oleh para The founding fathers Negara ini. Prinsip tersebut dapat dijumpai
dalam system pengambilan keputusan yang senantiasa menikutsertakan rakyat
didalam pengambilan keputusan agar produk hukum yang dikeluarkan mewakili
aspirasi mereka dan sesuai dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu
mensejahterakan masyarakat dan menciptakan rasa aman dan tentram.
Sejak ditetapkanya Undang Undang no.26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Indonesia terlihat ingin membenah sebagai fungsi pengaturnya
dalam penataan kawasan kawasan guna mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasionala dengan terwujudnya keharmonisan dan keterpaduan penggunaan
lingkungan alam dan lingkungan buatan, dan terwujudnya perlindungan fungsi
ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.
Dalam plolega 2013 di cantumkan oleh DPRA, Qanun
RTRW merupakan salah satu dari dua puluh satu Qanun Prioritas yang ingin
dituntaskan. Sebagaimana diketahui bahwa qanun ini merupakan implementasi dari
undang-undang no. 26 tahun 2007 dengan aturan pelaksana Peraturan Pemerintah no.
15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai wujud Law as a tool of social engineering.
Menurut tingkat administrasi pemerintahan,
perencanaan tata ruang dilaksanakan secara berhirarki mulai dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Dikaitkan dengan
substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang
yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan
struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem provinsi dengan
memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. Sementara RTRWK
berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan
memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki
di atasnya. Rencana tata ruang yang berhirarki ini harus dilaksanakan dengan
memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan,
untuk menghindari tumpang tindih pengaturan pada obyek yang sama. Dengan kata
lain, perencanaan yang berhirarki harus memenuhi prinsip saling melengkapi, Sinergis dan Tidak
boleh tumpang tindih.
kawasan Lindung atau yang sering dikenal dengan wilayah
konservasi adalah kawasan yang ditetapkan sebagai fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Buatan. Kawasan ini merupakan wilayah yang dijaga kelestarianya agar menjaga
keseimbangan gas emisi dan pada dekade terakhir menjadi sorotan masyarakat di
dunia sejak bumi diancam dengan Pemanasan Global. Pada kawasan juga harus
membatasi kegiatan dan atau usaha semacam eksploitasi yang menimbulkan prubahan geografis dan menimbulkan dampak langsung terhadap
Lingkungan.
kawasan budi
daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan
atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan.
Pada kawasan ini
membolehkan kegiatan dan atau usaha sesuai dengan izin yang dikeluarkan Pejabat
administrasi.
Penetapan kawasan Konservasi dan Observasi harus mengacu
kepada pembangunan berbasis lingkungan dan aspek kesejahteraan masyarakat.
Kabupaten Aceh Tengah Meliliki potensi pertanian dan perkebunan yang tidak
diragukan lagi, bahkan kopi merupakan Menjadi Komiditi ekspor non migas paling
tinggi di aceh ditambah lagi kemampuan Produktif sumber daya alam sebagai modal
investasi bagi proses pembangunan. Data terkhir dari PNPM menunjukan Dari 4.318,39
KM2 luas wilayah aceh tengah, 73.461 ha adalah perkebunan kopi
dengan menghasilkan 38.505 ton pertahun, atau kira kira 12,5 juta dollar. Dan
sudah seyogyanya penetapan Perkebunan Kopi sebagai Kawasan Ekonomi Strategis kabupaten
Aceh Tengah.
Masalah pemukiman masyarakat juga harus diperhatikan dalam
penyusunan pola ruang ini, karena banyak desa yang telah berdiri bahkan
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Akan
tidak relevan apabila kemudian Produk Hukum yang dikeluarkan tidak
mempertimbangkan aspek ini. Dan yang kita takutkan implementasi dari Qanun RTRW
ini tidak sesuai dengan Normatifnya bahkan tidak bisa dijalankan .
Pelibatan masyarakat dalam Proses perumusan perencanaan
tata ruang harus merupakan salah langkah yang harus ditempuh, dengan penetapan
hal ini diharapkan penetapan ini sesuai dengan keadaan daerah sesungguhnya dan
penetapan yang dilakukan tidak terkesan diterka-terka seperti halnya isu yang
beredar yang akan menetapkan wilayah konservasi hampir 80 % oleh pemerintah
pusat yang jelas jelas tidak berfihak kepada rakyat tidak terjadi.
Oleh: Ahlaz Zikri
Ketua umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Tengah
(IPPEMATA Banda Aceh)